KRITIK DAN ESAI CERPEN "KAKEK" KARYA M. SHOIM ANWAR
Rabu, 6 Juni 2018
M.
Shoim Anwar
KAKEK
Meski
saat berbuka puasa masih sekitar satu
jam lagi, Kakek ternyata sudah duduk menghadap meja makan yang sudah lengkap
dengan berbagai masakan. Kalau hanya sekadar duduk tentu tak ada masalah. Tapi
Kakek memang kakek. Apa yang dilakukan benar-benar aneh, ganjil, serta
menggelikan. Pandangannya tak pernah dialihkan ke yang lain, dia selalu
memandangi masakan itu. Sebentar-sebentar dia membuka tutup mangkuk sayur,
mengangkat isinya dengan senduk, lalu menciumnya.
“Segar...,”
katanya manggut-manggut.
Habis
menikmati bausuk, Kakek berganti mengangkat piring ynag berisi daging goreng,
diamat-amati dengan teliti, kemudian diciumnya bibir piring itu dengan pelan.
Kelihatannya Kakek benar-benar menikmati baunya, matanya dipejamkan sambil
menarik napas dengan lembut.
“Lezaaatt...,”
katanya sambil meletakkan piring .
“Puasa
tidak boleh mencium-cium begitu, Mbah,” kataku.
“Loh,
itu tergantung niatnya,” Katanya dengan tenang.
“Apa
mencium pakai niat?”
“Bukan
begitu, mencium hanya untuk mengukur selera, bukan untuk menikmati.”
“Tapi
kan bisa nanti, Mbah, ketika mulai berbuka. Dicicipi dulu sebelum makan.”
“Oaala...
mencicipi itu bukan mengukur selera, tapi sudah menikmati.”
Mendengar
tangkisan-tangkisan Kakek, Ibu hanya tersenyum. Sambil melengkapi beberapa jamuan,
lama-lama Ibu mengatakan padaku bahwa itu sudah menjadi kebiasaan Kakek. Aku
sendiri tak tahu sudah berapa lama kebiasaan Kakek. Sudah dua tahun ini aku
tidak pulang saat bulan puasa. Dan Kakek ikut keluarga kami juga baru dua
tahun, tepatnya sejak aku mulai kuliah ke Jakarta.
Ketika
Ibu meletakkan kolak pisang ke hadapan Kakek,
Kakek langsung menyambutnya dengan muka berseri-seri. Kentara sekali bau asap
kolak pisang itu menebarkan aroma yang merangsang. Kakek pun segera bangkit dan
mendekatkan hidungnya ke arah asap kolak di atas cawan.
“Benar-benar
nikmat...” Kata Kakek sambil menepuk-nepuk bibir cawan.
“Puasa
kan nggak hanya nahan makan dan minum, Mbah, juga harus menahan nafsu untuk
mencium-cium masakan seperti itu. termasuk menahan pandangan, pendengaran, dan
ucapan-ucapan yang tidak baik,” aku sedih berdalih.
Tapi
Kakek hanya tersenyum, tak ada tanda-tanda keseriusan. Matanya terus
berlompatan dari piring satu ke piring yang lain, dari mangkuk satu ke mangkuk
yang lain. Tak ada yang terlewati.
“Semua
tergantung niatnya” Kakek mengulangi jawabannya.” Kita punya hidung ya untuk
membaui, punya mata ya untuk melihat, punya telinga ya untuk mendengar, punya
mulut ya untuk ngomong.”
“Tapi
hal-hal yang kurang baik itu bisa merusak pahala puasa, Mbah. Bahkan
membatalkan.”
“Lawong
puasa kok karena pahala,” katanya dengan nada sangat tenang.
“Lebih
baik karena pahala dari pada karena paha.”
“Poso-poso
kok ngomong jorok.”
“Terus
karena apa lo, Mbah?”
“Ya
karena menjalankan perintah agama. Pahala itu urusan Gusti Allah.”
Kakek
segera mengambil sebuah mangga dari piring. Buah bewarna jingga itu
dielus-elus, diamat-amati, dan akhirnya dicium juga. Lama sekali Kakek
menghirup dengan mata terpejam.
“Ah...
sedaaaaap...”
Betul
kata Ibu. Kebiasaan Kakek ternyata berlangsung terus. Bahkan kadang-kadang,
waktu berbuka kurang sekitar satu jam, Kakek sudah siap di meja makan, menciumi
seluruh masakan dan menimang-nimang seperti anak kecil. Tetntu saja aku sering
melihat Kakek menelan ludahnya karena terangsang oleh bau masakan.
Lama-lama
aku juga tau kebiasaan Kakek yang lain. Kakek ternyata suka mengumpulkan
berbagai makanan di kamarnya. Aku sering melihat di kamar Kakek ada jambu yang
tadi pagi berjatuhan di kebun karena habis dimakan codot malam harinya, sawo
sebiji, kerupuk di plastik, juga beberapa jenis makanan eceran sebangsa jajan
pasar. Semuanya disembunyikan di kamar. kakek ternyata seperti anak kecil yang
baru belajar puasa. Kalau siang ngeluthus ke kebun-kebun untuk mencari rontokan
buah-buahan. Sementara malam harinya aku sering menyaksikan Kakek kekenyangan
karena melahap seluruh makanan simpanannya. Itulah sebabnya Kakek kalau
sembahyang terawih memeilih yang lebih cepat selesai.
Kami
sekeluarga memang harus bersyukur bahwa kkakek sudi dan berkenan untuk
mengerjakan puasa. Sebab, Kakek termasuk orang takhlukan. Artinya, Kkakek mau
menjalankan perintah agama belumlah terlalu lama, lebih kurnag empat tahun yang
lalu. Sejak masa kanak-kanak hingga setua ini, Kakek hidup dalam lingkup keluarga
yang kurang peduli dengan masalah agama. Sementara sejak menikah dengan Bapak,
Ibu telah diboyong ke kota lain. Di kota terakhir ini lah Ibu mulai belajar dan
menjalankan perintah agama. Tidak seperti di kota kelahirannya.
Tidak
ada yang tahu persis awal kesadaran Kakek. Sejak Nenek meninggal, Kakek memnag
sering pergi ke keluarga kami, bahkan hingga beberapa minggu. Mungkin di sini
Kakek menyaksikan cara hidup masyarakat yang begitu religius. Setiap waktu
sembahyang tiba, terutama saat maghrib, kami selalu mengerjakan bersama-sama.
Setelah itu kami, anak-anak, terus belajar membaca Al-quran dengan dibimbing
oleh Bapak. Ini tentu berbeda dengan suasana keluarga Kakek saat Ibu masih
kecil dulu. Boleh jadi di sini Kakek dihadapkan pada situasi yang membawanya ke
keterjutan. Itu terlihat pada awalnya, Kakek seperti minder. Menurut
pengakuannya, alif bengkong pun dia tidak mengerti, benar-benar asing dengan
Al-quran.
Mungkin
secara iseng-iseng, Bapak menyuruh Ibu untuk mneyediakan sarung dan kopiah
untuk Kakek. Ibu menurut. Ibu hanya mengatakan kepada Kakek untuk memakai
sarung dan kopiah itu supaya pantas, seperti ornag sini layaknya. Mula-mula
Kakek memang malu-malu, tapi dipakainya juga sarung dan kopiah itu.
“Pantas,
Mbah,” kataku pada saat itu.
“Seperti
santri,” kata adikku Laila
“Ah
bisa-bisa saja,” jawab Kakek sambil tersipu-sipu.
“Masak
pakai pakaian begini sudah dikatakan santri. Sekarang kan banyak santri yang
nggak mau pakai sarung dan kopiah.
Waktu
maghrib pun tiba. Kami lantas sembahyang berjamaah. Sementara Kakek terlihat
seperti tak tahu yang harus diperbuat, dia mondar-mandir di ruang depan.
Tiba-tiba Yulkifli, adikku yang
laki-laki, menyeret Kakek untuk ikut sembahyang. Anak kecil memang belum
mampu mengukur perasaan, Kakek digelandang untuk sembahyang. Kakek tentu saja
tak mampu menolak. Barangkali saat itulah untuk kali pertama Kakek melakukan
(baca: ikut-ikutan) bersembahyang.
Saat sembahyang berlangsung, terdengar
adik-adikku yang kecil tertawa cekikikan menertawakan Kakek. Konsentrasi kami
tentu saja terganggu. Seusai sembahyang aku mengetahui bahwa mereka, katanya,
melihat Kakek roboh saat melakukan gerakan rukuk. Gerakan Kakek, katanya, juga
tidak bisa seragam, tertatih-tatih mengikuti sehingga tertinggal terus. Bahkan
Yulkifli mengatakan bahwa saat sembahyang tadi sarung Kakek sempat melorot dan
Kopiahnya terjatuh saat sujud.
Pagi
harinya, Kakek tiba-tiba minta pulang. Kami tak mampu mencegahnya. Delapan
bulan kemudian Kakek datang lagi. Kali ini terjadi kejutan besar. Kakek
ternyata sudah bersembahyang dengan penuh kesadaran. Gerakan-gerakannya sudah
fasih. Bahkan dia datang dengan membawa sarung dan kopiah sendiri. Beberapa
buku tentang agama islam juga terlihat di dalam tasnya. Kami benar-benar
bersyukur atas petunjuk Tuhan yang
diberikan kepada Kakek. Dengan demikian, Kakek bukan saja termasuk Kakek kami,
tapi sekaligus keluarga kami. Antara status Kakek
dan keluarga memang punya
perbedaan besar. Ketika Nabi Nuh tidak berhasil mengajak anaknya untuk naik
perahu saat terjadi bencana banjir, karena anaknya memang tidak beriman
sehingga memilih jalan sendiri, Nabi Nuh langsung memohon kepada Tuhan, “Ya,
Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk
keluargaku.”
Tapi karena anak Nabi Nuh tidak beriman, Tuhan langsung berfirman, “Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termask keluargamu.”
Tapi karena anak Nabi Nuh tidak beriman, Tuhan langsung berfirman, “Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termask keluargamu.”
Jadi, status
yang lebih hakiki dimata Tuhan adalah keluarga.
Dia diikat oleh simpul-simpul keimanan, sementara status anak, kakek, dan
semacamnya, adalah sapaan antarmanusia yang dijalin faktor keturunan.
Yang tetap
menjadi masalah adalah perbuatan kakek yang terus saja membaui dan mencium-cium
segala makanan. Puasa demikian tentu saja terlihat ganjil, tidak arif, dan
kurang mampu menahan hawa nafsu terhadap makanan. Jawaban kakek tetap saja sama
ketika kami memperingatkan, “Semua itu tergantung niatnya.” Kami sudah
mengatakan bahwa niat harus dibarengi dengan tindakan-tindakan yang tidak
menyimpang, niat saja tidak cukup. Pun Kakek tetap saja mengendus-ngendus
seperti kucing lapar.
“Mbah tidak
puasa! Mbah tidak puasa!,
Teriak adikku
Laila dengan keras.
Aku segera ke
ruang tengah. Ternyata betul, Kakek telah menghabiskan sepiring nasi, padahal
masih pukul setengah lima sore.
“Lupa! Lupa!”
kata Kakek sambil menyemburkan sisa-sisa makanan dari mulutnya. Dia lamtas
berdiri dengan bengong menatap kami satu persatu.
“Namanya lupa ya
nggak apa-apa. Kelupaan waktu puasa itu seperti dapat berkha atau rezeki,” kata
Bapak. Dan Kakek segera ke belakang untuk berkumur.
“Makanya jangan
nongkrong di meja makan terus, Mbah.” Kataku pada Kakek setelahdia tiba kembali
di ruang tengah
“Apa kamu tidak
percaya kalau saya lupa?” kakek menegaskan.
“Mbah nggak
dosa?” tanya Yulkifli.
“Dosa bagaimana?
Justru saya telah mendapat berkah dna rezeki karena lupa, itu kata Bapakmu
tadi.”
Bapak dan Ibu
hanya tersenyum. Sementara Kakek kembali duduk menghadap meja makan. dia mulai
memandang seluruh makanan yang ada. Hidungnya terus mengendus-endus. Dan
kebiasaan itu tak kunjung berubah dihari-hari berikutnya. Seminggu kemudian,
aku mendapati Kakek makan dengan lahap pada pukul lima sore.
“Lo, Mbah tidak
puasa?” aku sepontan bertanya. Kakek seperti terjingkat.
“Masya Alloh,
saya lupa. Demi Allah lupa,” jawab Kakek dengan tandas. Dia langsung berlalri
ke belakang. Aku mnejadi ragu-ragu atas kelupaan Kakek sebab beberapa saat
sebelum itu aku melihat Kakek mencium-cium seluruh masakan seperti biasanya.
Begiut tipisnya batas antara ingat dan lupa.
Tiba-tiba
terdnegar suara Yulkifli, “Enak juga menjadi orang tua yang gampang lupa. Kalau
saat puasa, dapat rezeki dan berkah terus-terusan.”
“Ha haaaaa....,”
kami tertawa bersamaan.”
“Yang penting
niatnya,” kakek spontan menyahut. Dan dia segera kembali duduk menghadapi meja
makan. kali ini matanya tertuju pada ceplok telur!
Surabaya,
1993-2003
KRITIK:
A.
TEMA
Tema cerpen ini
adalah tentang seorang kakek yang selalu mencium makanan di atas meja.
B.
AMANAT
Amanat yag
disampaikan oleh pengarang adalah bergantung bagaimana niat yang dilakukan
seseorang terhadap permasalahan yang sedang ia hadapi.
C.
ALUR
Alur di sini
pengarang menggunakan alur maju dan mundur.
D.
PERWATAKAN/PENOKOHAN
Tokoh di cerpen Kakek,
dan sekaligus watak dari masing-masing tokoh.
1.
Kakek : tokoh kakek
ini memiliki watak selalu ingin tahu, ini terlihat pada kutipan.
“Semua
tergantung niatnya” Kakek mengulangi jawabannya.” Kita punya hidung ya untuk
membaui, punya mata ya untuk melihat, punya telinga ya untuk mendengar, punya
mulut ya untuk ngomong.”
2.
Aku : tokoh aku ini
memiliki watak keras kepala atau tidak ingin kalah dalam berbicara, ini terlihat
pada kutipan.
“Puasa kan nggak hanya
nahan makan dan minum, Mbah, juga harus menahan nafsu untuk mencium-cium
masakan seperti itu. termasuk menahan pandangan, pendengaran, dan ucapan-ucapan
yang tidak baik,” aku sedih berdalih.
3.
Ibu : tokoh ibu ini
memiliki watak yang sabar, ini terlihat pada kalimat.
“Mendengar
tangkisan-tangkisan Kakek, Ibu hanya tersenyum”
4.
Bapak : tokoh Pak Bayan ini memiliki watak yang sabar,
ini terlihat pada kalimat.
“Bapak
menyuruh Ibu untuk mneyediakan sarung dan kopiah untuk Kakek”
5.
Yulkifli : tokoh
Bakrul ini memiliki watak yang suka suka iseng, ini terlihat pada kalimat.
“Tiba-tiba
Yulkifli, adikku yang laki-laki, menyeret Kakek untuk ikut sembahyang.”
E.
LATAR
Keadaan di dalam
cerpen kakek adalah berseteru dan lucu.
F.
SUDUT PANDANG
Sudut pandang yang
dipakai oleh pengarang adalah sudut pandang orang pertama seperti pada tokoh “kakek
dan aku”, dan sudut pandang orang ketiga seperti pada tokoh “ibu, bapak,
yulkifli, adik-adik kecil.”
Komentar
Posting Komentar