KRITIK DAN ESAI CERPEN "TAHI LALAT" KARYA SHOIM ANWAR
Minggu, 22 April 2018
Tahi Lalat di Dada
Istri Pak Lurah
Ada tahi lalat di
dada istri Pak Lurah. Itu kabar yang tersebar di tempat kami. Keberadaannya
seperti wabah. Lembut tapi pasti. Mungkin orang-orang masih sungkan untuk mengatakannya
secara terbuka. Mereka menyampaikan kabar itu dengan suara pelan, mendekatkan
mulut ke telinga pendengar, sementara yang lain memasang telinga lebih dekat ke
mulut orang yang sedang berbicara. Mereka manggut-manggut, tersenyum sambil
membuat kode gerakan menggelembung di dada dengan dua tangan, lalu menudingkan
telunjuk ke dada sendiri, sebagai pertanda telah mengerti.
"Awas, ini rahasia. Jangan bilang
siapa-siapa!" kata Bakrul memulai pembicaraan sambil mendekatkan
telunjuknya ke mulut.
"Di sebelah mana?" aku mengorek.
"Di sebelah kiri, agak ke samping," jawab
Bakrul.
"Besar?"
"Katanya sebesar biji randu."
Mungkin karena keberadaannya sudah lebih jelas,
akhirnya orang-orang saling memberi kode ketika berpapasan. Bila mereka sedang
bergerombol, dan salah satu sudah memberi kode, yang lain mengacungkan
jempolnya sebagai tanda mengerti. Bagi yang kurang yakin, pertanyaan akan
langsung diteriakkan saat aku lewat.
Karena tak ingin diteriaki terus, aku mengacungkan
jempol. Teriakan itu memicu yang lain untuk keluar rumah, lalu menuju pinggir
jalan tempat aku lewat. Sebenarnya aku tak enak juga mendengar ejekan terhadap
lurahku, meski waktu pemilihan aku tidak mencoblosnya. Maka, sebelum mereka
berteriak, aku mengacungkan jempol terlebih dulu. Tapi karena niatnya mungkin
mengejek, teriakan mereka pun bertambah santer.
Suara truk pengangkut material untuk pembangunan
perumahan menderu-deru di jalan depan rumah yang rusak parah. Debu-debu itu
sering dikeluhkan oleh anakku, Laela, setiap pulang sekolah. Entah mengapa Pak
Lurah dan perangkatnya tak peduli dengan situasi itu. Pak Lurah justru tampak
akrab dan sering keluar bareng dengan mobil pengembang perumahan itu.
"Di luar sana juga ada omongan soal kedekatan
istri Pak Lurah dengan bos proyek perumahan," aku membuka pembicaraan
dengan istri. "Kedekatan yang gimana lagi?" istriku mendongak.
"Bos proyek itu sering datang saat Pak Lurah tidak ada di rumah. Katanya
juga pernah keluar bareng."
Bulan depan adalah masa pendaftaran calon lurah atau kepala
desa di sini. Konon Pak Lurah akan mencalonkan kembali untuk periode
berikutnya. Tak ada yang bisa mencegahnya meski janji-janjinya yang dulu
ternyata palsu.
"Ada unsur politik juga kayaknya," kataku
pada istri.
"Mengapa istri diikut-ikutkan?" dia
mendongak.
"Citra perempuan lebih sensitif untuk
dimainkan."
"Pak Lurah telah menceraikan istrinya yang
pertama. Ini istri kedua. Andai tetap dengan Bu Lurah yang dulu, tak akan
tersiar kabar kayak begini."
"Bisa jadi berita itu datangnya dari suaminya
yang dulu."
"Lo, Bu Lurah yang sekarang itu masih perawan.
Selisih umurnya katanya dua puluh tahun," istriku menegaskan sambil
menyambut Laela yang baru pulang sekolah.
Pak Lurah tak pernah berkomentar atas pembicaraan yang
menyangkut istrinya. Kami memilih diam ketika dia lewat. Ini berbeda ketika
yang lewat istrinya. Orang-orang mendehem, pura-pura batuk ketika ada istri Pak
Lurah, tersenyum dan menyapa basa-basi. Tapi, dari arah belakang, mereka
membuat isyarat gerakan gelembung di dada, kemudian menuding-nudingkan telunjuk
ke dada sebelah kiri.
Jujur kukatakan, Pak Lurah juga sering menggunakan
cara-cara kotor. Selama menjabat, tidak sedikit warga yang kehilangan sawah
ladang dan berganti dengan perumahan mewah. Warga yang tinggal di tempat strategis,
melalui perangkat desa Pak Bayan, dirayu untuk menjual tanahnya dengan harga
yang lumayan mahal. Begitu tanah-tanah yang strategis itu terlepas dari
pemiliknya, Pak Lurah semakin gencar membujuk yang lain dengan cara
memanggilnya ke kantor kelurahan.
"Kalau tidak mau menjual, akan dipagari oleh
pengembang perumahan," begitulah kata-kata intimidasi yang sering
dilontarkan Pak Bayan kepada warga.
"Lama-lama desa ini habis terjual," kataku
pada Pak Bayan.
"Habis gimana?" jawab Pak Bayan
enteng.
"Bilang sama Pak Lurah," aku melanjutkan,
"mestinya kehidupan kami diperbaiki agar makmur. Diciptakan lapangan kerja
baru. Bukan mengancam agar rakyat menjual tanahnya kayak kompeni."
"Kalau ada perumahan, pasti warga dapat
kesempatan kerja."
"Jadi kuli dan babu!" aku menyergah.
Aku yakin, warga asli sini kelak akan jadi buruh
pembersih rumput dan tukang sapu di wilayah perumahan. Sambil duduk di tanah,
mereka menatap rumah-rumah mewah, dengan badan kurus kurang gizi dan napas
kembang kempis digerogoti usia, mereka akan menuding sambil berkata, "Itu
dulu tanah milik saya. Batasnya dari sana hingga ke sana. Luaaas
sekali...."
Semakin mendekati masa pendaftaran calon lurah, berita
adanya tahi lalat di dada istri Pak Lurah semakin santer. Bumbu-bumbu
pembicaraan makin banyak. Pembicaraan tidak hanya tertumpu pada tahi lalat di
dada istri Pak Lurah, tapi meluas hingga sekujur tubuh istri Pak Lurah
ditelanjangi.
Aku yakin Pak Lurah dan istrinya sudah mencium
kasak-kusuk di sekitarnya. Mungkin untuk mengamankan pencalonannya kembali
sebagai lurah, dia sengaja memilih diam dengan harapan pembicaraan itu akan
menghilang dengan sendirinya. Tapi, dengan sikap diamnya itu, aku curiga
jangan-jangan pembicaraan itu benar adanya. Kata-kata 'diam pertanda setuju'
hadir dalam pikiranku. Memang, Pak Lurah dan istrinya serbasalah. Apa pun yang
dikatakannya dijamin tidak akan dapat meyakinkan tanpa bukti fisik.
"Apa tidak mungkin jika salah seorang ibu PKK
diminta mendekati Bu Lurah?" kataku pada istri.
"Untuk apa?"
"Menanyakan kepastian ada tidaknya tahi lalat
itu."
"Terus kalau tidak ada mau apa?"
"Ya biar jelas dong," jawabku pura-pura
lega.
"Terus kalau benar-benar ada?" istriku
mengejar lagi.
"Orang-orang akan puas," aku bergaya
manggut-manggut. "Akhirnya mereka kan berhenti ngrasani."
"Ehmm, untuk apa!" istriku melengos.
Dari awal aku sudah punya pikiran bahwa pembicaraan
itu punya maksud lebih besar. Tidak penting apakah di dada istri Pak Lurah ada
tahi lalatnya atau tidak. Di sebelah kiri atau kanan juga tak penting. Sebesar
biji randu atau sebesar kelapa pun tak masalah. Yang sangat rawan adalah, bila
benar-benar ada, kok sampai ada yang tahu? Siapa pun yang mengetahui tahi lalat
di tempat rahasia itu pasti dia adalah orang yang punya hubungan khusus dengan
istri Pak Lurah. Bila ditafsirkan lagi, perempuan itu sudah menjadi istri Pak
Lurah saat menjalin hubungan khusus dengan orang tadi.
Siang yang terik. Truk-truk pengangkut material
menderu-deru melewati kampung kami untuk menguruk sawah warga yang telah
terbeli. Jalan makin rusak parah. Aku berjalan menyisir di tepi kanan. Dari
arah berlawanan tampak mobil Jeep hitam berhenti. Sepertinya telah lama.
Beberapa saat muncul Pak Bayan dari arah yang sama. Lelaki itu memacu motornya
agak kencang. Kami berpapasan. Pak Bayan tak berkata apa-apa.
Jeep yang tadi berhenti tampak bergerak. Sepertinya
gas ditancap sehingga melaju terguncang-guncang di jalan yang bergeronjal.
Debu-debu membalutnya. Terasa ada yang aneh. Kendaraan itu melaju makin kencang
di sisi kanan. Ternyata Jeep itu menggasakku. Spontan aku meloncat ke seberang
parit. Aku tak tahu siapa pengendaranya. Cuk! Tubuhku terjatuh ke rumpun bambu.
Duri-duri tajam menancap di sana-sini. Aku berdarah-darah.
Sampai di rumah aku masih tak habis pikir, setan
keparat mana yang mengendarai Jeep tadi. Aku mengumpat-ngumpat sendiri. Dari
arah depan terdengar suara Laela pulang dari sekolah. Dia setengah berlari
menghampiri aku dan ibunya.
"Gambarku bagus, ya?" Laela menyodorkan buku
gambarnya yang terbuka.
"Gambar apa ini?" aku bertanya sambil
menerimanya.
"Orang."
Anak perempuanku, kelas dua sekolah dasar, menggambar
orang dengan rambut sepundak. Wajah dan tubuhnya diberi warna cokelat
kekuningan. Bibirnya dibuat merah menyala.
"Ini orang laki apa perempuan?"
"Perempuan," ia menunjuk ke gambarnya. Dada
gambar itu memang dibuat kayak ada belahannya dengan disanggah angka tiga
menghadap ke atas.
"Terus titik besar berwarna hitam ini apa?"
"Itu tahi lalat," jawab anakku enteng.
"Tahi lalat apa?"
"Tahi lalat di dada istri Pak Lurah."
"Haaa...??!!!" aku heran dan terhenyak.
Istriku juga tampak terbengong-bengong. Kami saling memandang. Tak bicara
apa-apa. Entah bagaimana ceritanya Laela tiba-tiba menunjukkan gambar perempuan
yang bertahi lalat di dadanya. Persis gunjingan yang hari-hari ini kami dengar.
"Ini tahi lalat
di dada istri Pak Lurah..." kembali anakku menuding gambar yang telah
dibuatnya. Kami hanya tersenyum. Kecut dan heran
KRITIK:
A.
TEMA
Tema cerpen ini
adalah tentang tidak tahu apa yang dibicarakan itu benar atau salah.
B.
AMANAT
Amanat yag
disampaikan oleh pengarang adalah bahwa sesama manusia tidak boleh membicarakan
orang lain, karena pada dasarnya yang dibicarakan adalah bentuk yang dikasih
atau diciptakan oleh yang Maha Kuasa.
C.
ALUR
Alur di sini
pengarang menggunakan alur maju dan mundur.
D.
PERWATAKAN/PENOKOHAN
Tokoh di cerpen Tahi
Lalat, dan sekaligus watak dari masing-masing tokoh.
1.
Aku: tokoh aku ini
memiliki watak selalu ingin tahu, ini terlihat pada kutipan.
“Di sebelah mana tahi lalatnya?”
2.
Istriku: tokoh
istriku ini memiliki watak yang tidak mau mengambil putusan tergesa-gesa atau
bijak, ini terlihat pada kutipan.
"Terus kalau tidak ada mau apa?"
"Terus kalau benar-benar ada?"
3.
Laela: tokoh Laela
ini memiliki watak yang polos, ini terlihat pada kutipan.
"Gambarku bagus, ya?"
4.
Pak Bayan: tokoh Pak Bayan ini memiliki watak yang
semena-mena, ini terlihat pada kutipan.
“Kata-kata
Pak Bayan terdengar tanpa emosi,tapi sangat menyakitkan dan beracun di hati
para penduduk”
5.
Bakrul: tokoh Bakrul
ini memiliki watak yang suka menyebarkan gossip, ini terlihat pada kutipan.
“Awas ini rahasia ,jangan katakan
siapa-siapa”.
6.
Pak Lurah: tokoh Pak
Lurah ini memiliki watak egois, ini terlihat pada kutipan.
“Warga yang tanahnya berada ditempat
strategis, melalui Pak Bayan atau skretaris desa, dirayu untuk menjual
tanahnya”
7.
Istri Pak Lurah:
watak dari tokoh istri Pak Lurah ini tidak diperlihatkan oleh pengarang.
E.
LATAR
Keadaan di dalam
cerpen tahi lalat di dada Bu Lrah ini adalah tegang.
F.
SUDUT PANDANG
Sudut pandang yang
dipakai oleh pengarang adalah sudut pandang orang pertama seperti pada tokoh
“aku”, dan sudut pandang orang ketiga seperti pada tokoh “istriku, istri pak
lurah, pak bayan, bakrul, laela, pak lurah”
Komentar
Posting Komentar